Indonesia beruntung memiliki pendahulu-pendahulu yang cemerlang, idealis dan mendudukkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Kita beruntung memiliki para pendahulu yang seringkali berkarakter hampir menyerupai sufi ketimbang penguasa, bersumpah untuk rela mengorbankan diri, menahan ambisi pribadi (bahkan untuk kepentingan manusia normal yang sangat pribadi sekalipun) demi terpenuhinya hasrat untuk negara merdeka. Kondisi di atas seringkali berulang terjadi dalam sejarah Indonesia, berikut adalah contohnya.
Sejarah mencatat bahwa kerajaan Majapahit bisa mencapai masa keemasannya (1350 – 1389) ("KLIK HERE:")karena pengabdian seorang Gajah Mada selama 40 tahun, mulai masa pemerintahan Jayanegara dan kemudian berlanjut pada masa Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk. Di awal pengabdiannya sebagai maha patih Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang termasyur itu, Sumpah Palapa.
Demikian bunyi sumpah tersebut berdasarkan Kitab Pararaton:
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Terjemahannya:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Bekerja berdasarkan sumpah tersebutlah yang membuat Gajah Mada selama 40 tahun pengabdiannya sebagian besar dilalui dengan pertempuran demi pertempuran("KLIK HERE") untuk mempersatukan daerah Nusantara sampai Papua di wilayah timur dan Semenanjung Malaka di wilayah utara (perkecualian adalah tanah Sunda). Karakter Gajah Mada juga teruji unggul melalui ketegasannya berdasarkan hukum walaupun ada juga kesalahan yang dibuatnya (kasus Perang Bubat salah satu contohnya).
Tahun 1364, Gajah Mada meninggal dunia dan sejak itu tak pernah tercatat lagi Majapahit melakukan peperangan untuk memperluas wilayah sampai kehancurannya di tahun 1518.
Sejarah berulang. Hal ini juga berlaku untuk Bung Hatta. Bung Hatta yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat tanggal 12 Agustus 1902 ini sejak muda sudah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan kemajuan tanah airnya. Suatu ketika di masa gejolak perjuangan, Bung Hatta pernah mengucapkan sumpah bahwa ia tidak akan pernah menikah selama bangsa Indonesia belum meraih kemerdekaannya.
Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta akhirnya menyatakan kemerdekaan Indonesia atas nama Bangsa Indonesia. Keesokan harinya mereka berdua diangkat sebagai presiden dan wakil presiden pertama Indonesia dalam usia 44 tahun dan 43 tahun. Beberapa bulan kemudian, tampaknya Bung Karno mengingatkan Bung Hatta mengenai sumpahnya tersebut("KLIK HERE"). Bahkan Bung Karno sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan memperkenalkan seorang gadis berusia 19 tahun yang sudah dikenalnya sejak gadis tersebut masih kecil yaitu Rahmi Rachim. Putri sulung dari dari Abdul Rachim, teman baik Bung Karno.
Karena Bung Hatta setuju, maka pada tengah malam Bung Karno datang melamarkan Rahmi bagi Bung Hatta. Raharty Subijakto (adik Rahmi) sempat meminta kakaknya untuk menolak pinangan itu. Sebab ia merasa bahwa Rahmi yang baru berusia 19 tahun akan menikahi seorang tua yang sudah berumur 43 tahun. Tapi sejarah mencatat bahwa pada tanggal 18 November 1945 Rahmi menerima lamaran tersebut.
Di sebuah vila kecil di Megamendung, dalam balutan baju kuning muda yang bertaburkan palet dan kain prada antik, Rahmi mengucapkan sumpahnya sebagai isteri Bung Hatta. Raharty melukiskan saat-saat pernikahan tersebut dengan kalimat “Yuke terlihat amat cantik, bagaikan peri hutan………” Yuke adalah nama kecil Rahmi yang kemudian menjadi panggilan sayang Bung Hatta kepada isterinya tersebut. Uniknya (ini yang konon membuat ibunda Bung Hatta marah saat itu) mas kawinnya bukanlah perhiasan emas tetapi sebuah buku tulisannya sendiri yang berjudul Alam Pikiran Yunani yang dia tulis saat pembuangan di Digul tahun 1934.
Sejarah berulang mengenai sumpah ini juga dialami oleh Bung Tomo. Masa perjuangan revolusi paska proklamasi 17 Agustus 1945 secara tidak langsung memunculkan pendapat bahwa revolusi juga menuntut pengorbanan segala-galanya termasuk perkawinan sebagai kenikmatan pribadi.
Iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di surat kabar seringkali membuat jengkel para pejuang yang berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan saat itu adalah bertentangan dengan sifat revolusi. Karena itulah makanya Bung Tomo seperti memiliki perasaan bersalah karena menikah pada waktu revolusi. Bahkan ia meminta ijin dari kelompoknya sebelum melaksanakan pernikahan termasuk sumpah untuk tidak menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-isteri. Hal itu terlihat jalas dalam sebuah iklan di harian Boeroeh, 16 Juni 1947 berikut ini:
MENIKAH
Mengingat gentingnya masa, maka perkawinan kawan kami SOETOMO (Bung Tomo) dengan PI SOELISTINA, yang akan berlangsung bertemunya nanti pada tanggal 19 Juni 1947 jam 19.00 tidak kami kehendaki akan dirayakan dengan cara bagaimanapun juga. Pucuk Pimpinan Pemberontakan menyetujui perkawinan kedua kawan seperjuangan itu, berdasarkan perjanjian mereka.
1. Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan itu, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk Rakyat dan Revolusi.
2. Meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-isteri sebelum ancaman terhadap kedaulatan Negara dan Rakyat dapat dihalaukan.
Kami akan berterima kasih, bila kawan-kawan seperjuangan dari jauh berkenan memberikan berkah pangestu kepada kedua mempelai itu.
TETAP MERDEKA
Dewan Pimpinan Harian Pucuk Pimpinan
Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia
Jl. Rampal 75 Malang
Itulah contoh kekuatan sumpah dalam sejarah kita. Makanya aneh juga saat menteri-menteri baru dilantik dan mengucapkan sumpahnya, mereka sudah meminta kenaikan upah, bahkan walaupun belum melakukan apapun juga. Tampaknya, sumpah di masa sekarang tiada bertuah walaupun Asma Allah sering dicatut.
Sumber Pustaka:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Palapa
- TEMPO Edisi 12, 19 Agustus 2001. Edisi khusus kemerdekaan Republik Indonesia.
- KOMPAS Edisi Jumat 9 Agustus 2002. “Bung Hatta: Kepala Keluarga, Pemimpin Rumah Tangga” tulisan Meutia Farida Hatta Swasono.
- Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie, Penerbit Bentang, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar